Takdir Cinta
Aku dan Ryan berteman sejak lama. Kami berteman sedari kecil. dari TK, SD dan SMA kami bersekolah di tempat yang sama. Bahkan kuliah pun aku dan Ryan masuk ke universitas yang sama. Walau berbeda fakultas aku dan Ryan tetap bersama menjalani semua yang biasa kami lakukan. Dengan seiring berjalannya waktu, aku merasakan sebuah rasa yang berbeda. Sebuah perasaan yang membuat jantung ini berdebar debar saat bersamanya. Inikah yang dinamakan cinta? Apakah aku telah jatuh cinta pada Ryan? Entahlah, biarlah perasaan ini ku simpan dalam hati saja.
Aku dan Ryan sering menghabiskan waktu berdua. Mulai dari nongkrong di kafe, nonton atau hanya sekedar jalan-jalan kami selalu bersama. Hingga tak heran orang-orang sering menganggap aku dan Ryan pacaran. Aku dan Ryan hanya dapat tersenyum mendengarnya walaupun dalam hatiku ingin anggapan mereka benar-benar nyata.
Sampai pada suatu hari datanglah seseorang ke kehidupan kami. Vania namanya.dia adalah teman satu kelas denganku.Semua itu bermula saat Vania tak sengaja menabrak Ryan di depan kelasku. Sejak saat itu Ryan selalu memintaku memberikan informasi tentang Vania. Setiap hari pun Ryan selalu menunggu di depan kelasku, namun bukan untuk menemuiku melainkan melakukan pendekatan kepada Vania.
Setelah beberapa minggu Ryan melakukan pendekatan terhadap Vania, mereka pun berpacaraan. Hatiku hancur mengetahui mereka berpacaran. Aku sedih, sakit dan kecewa. Namun, aku sadar bahwa aku hanyalah sebatas sahabat untuk Ryan.
Sejak saat itu, hari hariku bertema sepi. Ku lalui hariku sendiri tanpa kehadiran Ryan di sisiku. Dia tak lagi menghiraukanku. Dia menghabiskan waktu hanya untuk Vania, Vania dan Vania. Aku hanya bisa memandangnya dari jauh. Memandang Ryan yang selalu ada buat Vania, bercanda ria tanpa mengetahui betapa sakit yang kurasa. hatiku perih melihat semua ini, serasa disayat-sayat oleh pedang yang teramat tajam.
Sejak saat itu, hari hariku bertema sepi. Ku lalui hariku sendiri tanpa kehadiran Ryan di sisiku. Dia tak lagi menghiraukanku. Dia menghabiskan waktu hanya untuk Vania, Vania dan Vania. Aku hanya bisa memandangnya dari jauh. Memandang Ryan yang selalu ada buat Vania, bercanda ria tanpa mengetahui betapa sakit yang kurasa. hatiku perih melihat semua ini, serasa disayat-sayat oleh pedang yang teramat tajam.
Tiga bulan sudah hubungan Ryan dan Vania berjalan. Mereka berdua nampak sangat bahagia. Hingga pada akhirnya sebuah hal yang tak diinginkan terjadi. Vania dijodohkan oleh kedua orangtuanya dan dia tak bisa menolaknya. Sedangkan Ryan tak bisa berbuat apa-apa. Dia sangat patah hati. Ryan kembali kepadaku, menuangkan semua kesedihannya. Aku menerimanya dengan hati terbuka. Aku berusaha tuk menghibur Ryan, membuatnya kembali bahagia. Namun, Ryan masih terpuruk. Dia masih sangat patah hati, tak mau akan hingga akhirnya tergolek lemah di rumah sakit.
Selama di rumah sakit aku selalu berada di samping Tyan. Aku memberikan segenap perhatian yang tulus kepadanya. Aku merawatnya dengan penuh kasih sayang. Aku juga selalu mendo’akan agar dia cepat sembuh dan kami akan kembali melalui hari-hari indah bersama.
Setelah kesembuhan Ryan, kami kembali bersama. Kami kembali melakukan rutinitas yang dulu selalu aku dan Ryan lakukan. Hari indahku bersamanya telah kembali. Hingga akhirnya di tengah kebahagiaan yang ku rasa dia kembali… dan bersamanya.
Ya, dia adalah Vania. Dia kembali kepada Ryan setelah perjodohannya batal. Orang yang dijodohkan untuknya telah menghianati keluarganya. Vania akhirnya merajut kembali cinta lamanya dengan Ryan. Mereka berdua kembali dalam canda tawa, sedangkan aku kembali merasakan sakitnya patah hati.
Ya, dia adalah Vania. Dia kembali kepada Ryan setelah perjodohannya batal. Orang yang dijodohkan untuknya telah menghianati keluarganya. Vania akhirnya merajut kembali cinta lamanya dengan Ryan. Mereka berdua kembali dalam canda tawa, sedangkan aku kembali merasakan sakitnya patah hati.
Hari-hari silih berganti. Hingga pada suatu hari Ryan dan Vania menyerahkan sebuah undangan berwarna merah muda kepadaku. Aku menitikan air mata membacanya. Ryan ternyata akan segera melangsungkan pertunangan denagn Vania. Aku berusaha tegar memerima semua kenyataan ini walau tersimpan sakit yang teramat dalam di hati kecilku.
Waktu terus berlalu. Telah tiba saatnya hari pertunangan Ryan dan Vania. Rasanya aku tak ingin datang ke acara itu. Dengan dorongan dari Papa dan Mama akhirnya aku menghadiri acara itu. Aku memasuki ruang pertunangan mereka dengan selalu berada di dekat Papa dan Mama. Ku genggam erat tangan Mama untuk menetralisir rasa yang berkecamuk di dalam dada. Mama seakan tahu apa yang kurasa. Mama pun mendekapku erat untuk menenangkanku.
Pada waktu pemasangan cincin, ku lihat rona bahagia di wajah Ryan dan Vania. Namun ada perasaan yang begitu mendesak di dalam dada hingga pada akhirnya aku meneteskan air mata. Sakit, melihat orang yang ku cinta bahagia bersama wanita lain. Sudah sepantasnya, aku ikut bahagia melihat sahabatku bahagia. Namun, aku tak bisa. Terlalu sulit untuk dilakukan. Hati kecilku memberontak, tak terima dengan keadaan ini.
Sebulan sudah hari pertunangan Ryan dan Vania berlalu. Aku berusaha untuk menerima kenyataan Ryan bukan tercipta untukku. Ryan hanyalah teman kecilku, sahabatku. Dia telah bahagia bersama cintanya, Vania. Aku berusaha tuk menata kembali hatiku yang hancur. Aku bertekad untuk menghapus nama Ryan yang telah terukir indah dalam hatiku walau susah untuk melakukannya.
Hingga tiba-tiba dering telephonku membuyarkan lamunanku. Aku tak percaya dengan berita yang ku dengar. Mama memberitahuku bahwa mobil yang dikendarai Ryan dan Vania mengalami kecelakaan. Tubuhku lemas seketika. Lidahku kelu tak dapat berkata apa-apa.
Aku bergegas menuju rumah sakit. Sampai disana telah berkumpul keluarga Vania dan Ryan yang diselimuti duka. Aku melihat tubuh Vania telah terbujur kaku. Kepalanya dipenuhi darah akibat benturan keras. Sedangkan Ryan tergolek lemah tak berdaya di ruang ICU. Dia koma dan kritis.
Aku menangis dan tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa menemani Ryan menjalani berbagai macam operasi. Ryan memerlukan banyak darah karena menjalani banyak operasi di tubuhnya. Stok darah di rumah sakit yang golongannya A pun telah habis. Ahirnya aku putuskan untuk mendonorkan darahku pada Ryan karena teringat bahwa golongan darahnya sama.
Hari-hariku dihabiskan untuk menemani Ryan. Aku selalu berada di sampingnya menunggu ia sadar dari komanya. Aku tak peduli rasa letih yang menerpa. Bagiku kesembuhan Ryanlah yang terpenting.
Akhirnya setelah sepuluh hari koma Ryan sadar juga. Namun dia mencari dan memanggil-manggil nama Vania. Aku tak dapat berkata apa-apa. Aku tak ingin Ryan drop mengetahui kenyataan yang ada karena kondisi tubuhnya masih belum stabil.
Pada akhirnya Ryan mengetahui semua itu. Dia sangat terpukul, menyesal dan terpuruk. Dia tak bisa menerima kenyataan bahwa Vania kini telah tiada. Ryan selalu menyalahkan dirinya, dia tak mau makan dan kondisinya semakin memburuk. Aku berusaha untuk menenangkannya, menghiburnya dan tetap berada di sampingnya, walaupun semua itu sia-sia karena duka yang dialami Rian begitu mendalam.
Setahun sudah semenjak kepergian Vania. Ryan mulai bisa mengikhlaskan kepergiannya. Dia kembali ceria, seperti Ryan yang dulu. Hari harinya kini dipenuhi dengan canda dan tawa.
Sore ini, aku mengunjungi makam Vania. Aku berdiri tepat di sebelah peristirahatan terakhirnya, aku memandanginya lalu duduk dan menaburi bunga di atas nisannya. Kupanjatkan segenap doa untuknya agar dia dia tenang disana. Tanpa kusadari seorang pria telah berdiri di belakangku. Dia lalu duduk di sebelahku.
“Nasya, masihkah kamu menyimpan prasaan itu? Perasaan cintamu untukku?”
“Ryan..?” kataku tak percaya.
“Sekarang ku menyadari betapa berartinya dirimu. Kamu selalu setia menemaniku dalam senang maupun susah. Saat ku tergolek lemah tak berdaya, kamu merawatku dengan penuh kasih sayang, kamu selalu berada di sampingku. Kamulah orang yang menguatkanku, membuatku bangkit dalam kerterpurukan. Kamu juga menyadarkanku untuk menerima takdir dari tuhan, untuk mengikhlaskan kepergian vania. Dan apabila memang kamulah takdir cinta untukku maka aku menerimanya. Aku mencintaimu dari ketulusan hatimu.”
“Ryan…” kataku sambil meneteskan air mata.
“Nasya, maukah kamu menghabiskan semua hari-harimu bersamaku? Maukah kamu menikah denganku?”
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya dapat menangis. Ya, aku menangis bahagia. Tak pernah ku sangka Ryan orang yang selama ini aku cintai melamarku. Dia melamarku di dekat peristirahatan Vania. Aku menerimanya, dan kami berjanji untuk saling mencintai dan menyayangi. Aku lalu memandangi nisan Vania. Aku melihat seolah-olah Vania tersenyum bahagia.
“Nasya, masihkah kamu menyimpan prasaan itu? Perasaan cintamu untukku?”
“Ryan..?” kataku tak percaya.
“Sekarang ku menyadari betapa berartinya dirimu. Kamu selalu setia menemaniku dalam senang maupun susah. Saat ku tergolek lemah tak berdaya, kamu merawatku dengan penuh kasih sayang, kamu selalu berada di sampingku. Kamulah orang yang menguatkanku, membuatku bangkit dalam kerterpurukan. Kamu juga menyadarkanku untuk menerima takdir dari tuhan, untuk mengikhlaskan kepergian vania. Dan apabila memang kamulah takdir cinta untukku maka aku menerimanya. Aku mencintaimu dari ketulusan hatimu.”
“Ryan…” kataku sambil meneteskan air mata.
“Nasya, maukah kamu menghabiskan semua hari-harimu bersamaku? Maukah kamu menikah denganku?”
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya dapat menangis. Ya, aku menangis bahagia. Tak pernah ku sangka Ryan orang yang selama ini aku cintai melamarku. Dia melamarku di dekat peristirahatan Vania. Aku menerimanya, dan kami berjanji untuk saling mencintai dan menyayangi. Aku lalu memandangi nisan Vania. Aku melihat seolah-olah Vania tersenyum bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar