Cari Blog Ini

Sabtu, 15 Agustus 2015

DAN, BERKALANG SENJA

                        DAN, BERKALANG SENJA

karya asli4d.com

Keberhasilan kali ini bisa jadi adalah keberhasilan pertama dan terakhir bagi Lundru. Wajah perempuan paruh baya itu tetap tidak berubah masih tersaput mendung, garis hitam di bawah lingkar mata dan tajam keriput menggunting di sudut kening sebagian kecil tanda bahwa kehidupan selama ini dijalani jauh dari kemudahan. Tubuh rapuh termakan penderitaan sekian lama mencambuk, ibarat tak pernah henti. Tidak satupun orang tahu.
Bertahun-tahun berusaha melepaskan diri dari cengkeraman dan perlakuan biadab Bankaryan ayah tirinya, malam ini baru kesampaian.
Ketika sebuah pisau karatan berhasil menembus dalam ulu hati. ketika fisik Bankaryan tak sekokoh dulu lagi, Lundru sangat yakin dapat menghabisinya malam ini.
Sebuah teriakkan melengking merobek kesunyian.
Tangan Lundru gemetaran.
Sehabis menusukkan pisau.
Nafas terengah, mata merah berkobar seolah hendak membakar sebuah selendang hijau pupus berumbai lembut yang tergeletak tak jauh dari tubuh Bankaryan yang mulai terhuyung.

Dan, Berkalang Senja
Kilatan kenangan menyambar ingatan Lundru untuk sesaat. Selendang itu dipakai Bankaryan menyumpal mulut ketika merenggut paksa kehormatannya. Esok paginya ketika ditanya tetangga, ada apa tadi malam, samar-samar ada ribut-ribut di rumahmu, Lundru? Waktu itu, ia hanya menjawab singkat,”tidak ada apa-apa, itu suara ayah sedang memburu tikus di dapur”. Tetangga percaya begitu saja, toh rumah Lundru dipisahkan kebun dan kebun di sebelah kiri-kanan. Jadi, tidak cukup bukti menguatkan mereka bahwa telah terjadi sesuatu di dalam sana. Hari-hari berikutnya, setelah kejadian malam itu, rasa dan hati Lundru berubah dingin membeku. Sering kali ada seorang pemuda mendekati serta menaruh simpati, bayang-bayang wajah menyeringai ayah tirinya tiba-tiba muncul di atas kepala para pemuda itu. Kebencian dan kebencian yang ada - di benak Lundru - semua laki-laki sama seperti ayah tirinya-bengis, kejam dan tidak punya perasaan. Manakala tetangga menanyakan, kenapa Lundru tidak kunjung menikah? Kembali waktu itu ia menjawab singkat,”belum ketemu jodoh”.

Tangan Lundru gemetaran.
Dengan beringas Lundru mencabik-cabik selendang hijau pupus yang masih tertinggal bekas noda darah, lelehan dari sudut bibir yang pecah saat dianiaya. Sebenarnya, selendang bermotif bunga melati itu adalah benda kesayangan menyimpan kisah indah, kali pertama ibunya bertemu dengan ayahnya di acara tayuban desa. Selendang itulah yang mengikatkan cinta mereka.

Darah terus mengalir.
Tubuh Bankaryan rebah terhuyung ke lantai.
Mulutnya seperti terkunci rapat hanya tatapan mata iba, memandang Lundru mengharap ampunan.
Tangan Lundru gemetaran.
Lundru tak berkeming, emosi makin naik manakala melihat sebatang balok tersandar di sudut kamar. Balok itu sering dipakai menggebukinya tanpa ampun, membuat sekujur tubuh memar. Meski ia menggelepar kesakitan, Bankaryan terus saja mengayunkan seenaknya, hingga pingsan. Siraman seember air bekas cucian piring lantas menyadarkannya. Dilanjutkan Bankaryan mengumbar cacian sengaja menyayat-nyayat batin Lundru. “Lundru, mana uang hasilmu memijat hari ini. Cepat!” bentak Bankaryan sambil mengayunkan balok lagi. Baak-buuuk-baaak! belum sempat Lundru mengulurkan uang, balok duluan lagi-lagi menghajar tanpa kompromi.
Wajar kalau kebencian Lundru pada selendang-balok itu sama besar dengan kebencian pada ayah tirinya.

Tangan Lundru gemetaran.
Lundru bergegas menyiramkan minyak tanah dan membakar selendang serta balok, benda keparat. Bankaryan-selendang-balok adalah monster yang selama ini mencabik-cabik hidupnya. Api berkobar tubuh Bankaryan ikut terbakar, kemeretak suara tulang membangunkan tetangga Lundru, sekaligus membuka tabir yang tertutup rapat. Tabir bahwa kehidupan Lundru selama ini baik-baik saja sontak terurai satu demi satu. Membuat tetangga terperangah.

Aroma menyengat menusuk hidung, Lundru menghisapnya dalam-dalam. Menikmati serasa hembusan angin malam menembus ruang batin. Ternyata mimpi yang acap hadir saat masih kecil, saat memandangi kemerlip bintang, spontan titik-titik cahaya menembus pusat pandang. Kepak sayap Lundru terbang membawa ke ujung langit ke sebuah istana megah berhambur berjuta mainan, memanjakan bak puteri kecil seorang raja, hidup penuh kedamaian dan gemerlap kegembiraan. Hanya mimpi belaka, tidak akan pernah menjadi kenyataan.
Tangan Lundru makin gemetaran.

Kembali ingatan Lundru terseret ke belakang.
“Lundru, ayo masuk, kenapa kamu sering bengong berlama-lama di serambi memandangi langit sepanjang malam. Buruan tidur, nanti jatuh sakit”, perintah Marganti membuyarkan lamunan Lundru.
Tanpa menyahut sepatah kata ia berlalu masuk kamar tidur, tidak perduli sembari sore Bankaryan ayah tiri yang baru sebulan menikahi ibunya memperhatikan.
Marganti bergegas mengikuti.

Sudah semenjak awal Lundru menunjukkan sikap ketidaksetujuan, apabila ibunya menikah dengan lelaki itu. Bukannya Marganti tidak tahu atau pura-pura tidak tahu isi hati anak perempuan satu-satunya. Tapi apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur, pernikahan sudah terjadi.

Marganti berusaha bicara dari hati ke hati membujuk Lundru lebih bersikap lunak mau menerima Bankaryan sebagai ayah pengganti ayahnya yang meninggal setahun lalu. Namun entah di sudut hati Lundru terdalam, selalu saja muncul penolakan, semakin ia memaksa untuk menerima Bankaryan sebagai ayahnya semakin keras penolakan muncul di dalam hati.

Hubungan Lundru-Bankaryan seperti laten, api dalam sekap. Saat berkumpul Lundru mati-matian menekan kebencian dengan berlaku wajar demi menjaga perasaan ibunya. Saat ibunya keluar, sorot mata kebencian Lundru pada Bankaryan nyata sekali terlihat.

Adalah Bankaryan, lelaki itu amat tahu apa yang sedang dihadapi, setelah menikah dengan Marganti ia merasa punya kuasa atas nasib sepasang ibu-anak. Sama hal dengan Lundru, saat berkumpul Bankaryan menunjukkan sikap sebagaimana seorang ayah yang baik tetapi saat Marganti tidak ada di rumah, perangai beringasnya muncul.

Pelan namun pasti ia menghembus-hembuskan fitnah, menanamkan bibit permusuhan meracuni pikiran Marganti membuat Lundru kehilangan tempat untuk bersandar. Ketika, Bankaryan sudah berani terang-terangan memarahi, bukan membela ibunya malah ikut-ikutan.

Beberapa tahun kemudian, nasib Lundru tambah tak karuan sepeninggal ibunya. Ia menjadi sebatang kara, tak tahu harus bagaimana. Hampir saban hari sepanjang malam, pukulan demi pukulan-siksaan demi siksaan diterima. Bankaryan bak monster yang baru merasa puas kalau sudah membantai Lundru dengan garang. Kebencian, sakit hati dan dendam kesumat melumut di dasar batin Lundru. Walaupun tidak punya daya untuk melawan, ia tidak mau mati dengan mudah. Bertahun-tahun menunggu bahkan puluhan tahun.
Tangan Lundru berhenti bergetar.
Akhirnya baru malam ini kesampaian.
Tubuh Bankaryan ayah tirinya kini teronggok menjadi abu pekat.
Lundru tidak lagi peduli!!!

lihat berita lengkap selanjut nya 
klik link di bawah ini:
email yahoo / ym : asli4d@yahoo.com
gmail : asli4d@gmail.com
twitter : asli4d_official
skype : asli4d
pin bbm : 2B915CD1

Tidak ada komentar: